Kamis, 24 Maret 2011

Industrialisasi

I. PENDAHULUAN

Industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan ekonomi yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi merupakan proses perubahan struktur ekonomi dari struktur ekonomi pertanian atau agraris ke struktur ekonomi industri. Tidak dapat dipungkiri bahwa industrialisasi memberikan dampak yang positif bagi perekonomian di Indonesia, dengan kata lain sektor industri manufaktur muncul menjadi penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat mengimbangi laju pertumbuhan sektor pertanian.

II. INDUSTRIALISASI

Secara definitif, sampai saat ini pemaknaan tentang pembangunan ekonomi yang pokok adalah pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara berkesinambungan sehingga menghasilkan transformasi struktural dalam perekonomian. Menurut Mellor (1987;81), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang dengannya perekonomian diubah dari apa yang sebagian besar pedesaan dan pertanian menjadi sebagian besar perkotaan, industri, dan jasa–jasa. Jadi inti dari pembangunan ekonomi adalah adanya pertumbuhan ekonomi.
Transformasi strukrural sendiri dipahami sebagai pergeseran pertumbuhan sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan kemudian ke sektor jasa (Chandra, 1992:4). Pandangan ini dipelopori oleh Colin Clark (1940) dan Simon Kuznets (1957 dan 1958). Clark menggambarkan tentang ”modernisasi ekonomi”, atau proses pertumbuhan ekonomi dalam kerangka perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder dan peningkatan yang layak dalam produksi tersier. Negara yang telah mencapai tahapan modernisasi ekonomi inilah yang dianggap telah mengalami tahap industrialisasi. Transformasi struktural disini diharuskan, karena sektor primer dipandang tiak memiliki nilai tambah yang tinggi serta nilai tukarnya rendah.
Sementara itu, tolok ukur industrialisasi menurut (Rostow, 1991:5) adalah apabila tingkat investasi dan tabungan mencapai 10% dari pendapatan nasional. Era industrialisasi ditandai dengan industri–industri baru berkembang dengan pesat, memberikan keuntungan yang sebagian besar diinvestigasikan lagi dalam bentuk baru. Indutri-industri baru ini tentunya membutuhkan banyak pekerja pabrik, yang pada akhirnya mendorong timbulnya layanan-layanan jasa yang mendukung para pekerja tersebut dan kebutuhan akan barang-barang manufaktur lainnya , perluasan lebih lanjut di daerah perkotaan dan dalam pabrik-pabrik modern lainnya.
Sedikit berbeda dengan sebelumnya, model neoklasik, dengan para tokoh-tokohnya seperti Arthur Lewis dan Hollis Chenery, lebih menekankan perhatiannya kepada mekanisme yang memungkinkan perekonomian negara terbelakang mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari sesuatu yang berat seperti pertanian tradisional untuk mencukupi kebutuhan sendiri, kepada suatu perekonomian yang lebih modern, mengarah ke kota , dan beraneka di bidang industri dan jasa-jasa (Todaro 1997: 75). Intinya, neoklasik memusatkan pada bagaimana “mekanisme” perubahan struktural tersebut terjadi.
Pada dekade 1980-an, pandangan industrialisasi seperti diatas mendapat kritik dari Joan Robinson, Cohen, dan Zysman (Arief, 1995:12). Tiga ekonom Cambrige ini berargumen bahwa transformasi ekonomi bukan hanya dalam konteks pergeseran struktural dari pertanian ke manufaktur dan jasa. Tahap transformasi seharusnya dipahami dalam pengertian proses dinamika yang terjadi dalam sektor pertanian dan sektor-sektor pendukungnya. Secara spesifik, sektor pertanian diletakkan sebagai pondasi pembangunan dan sektor industri sebagai motor pembangunan, atau offshoot dari sektor pertanian.
Dengan demkian, setidaknya ada dua karakteristik transformasi ekonomi yang merupakan model dasar dari percepatan industrialisasi yang dikembangkan dalam jangka panjang, yaitu :
1. Sektor pertanian harus terus mengalami dinamika internal (produktivitas yang terus meningkat) dan menjadi basis bagi sektor industri yang dikembangkan.
2. Sektor industri yang dikembangkan mempunyai saling keterkaitan dengan sektor pertanian, yang jika didinamisasikan akan menjadi kunci hebat bagi pertumbuhan sektor manufaktur.


Industrialisasi dan Proteksionisme

Terdapat tiga pemikiran strategi industrialisasi yang berkembang di Indonesia, dimana ketiganya pernah diaplikasikan secara tersendiri maupun bersama- sama yakni antara lain sebagai berikut :
1. Strategi industrialisasi yang mengembangkan industri–industri yang berspektrum luas (broad- based industry), seperti industri elektronik, tekstil, otomotif, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang memadai seperti tenaga kerja murah dan sumber daya alam, sehingga negara-negara maju tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Selain itu, dalam jangka panjang Indonesia mengambil pelajaran dan teknologi dari industri-industri asing tersebut.
2. Strategi industrialisasi yang mengutamakan industri-industri berteknologi canggih berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri pesawat terbang, industri peralatan, dan senjata militer, industri kapal, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa pendekatan ini merupakan cara agar peningkatan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dalam jangka panjang, karena relatif menghasilkan nilai tambah yang besar. Apabila mengandalkan sektor primer, nilai tambahnya kecil dan juga mudah disaingi oleh pihak asing.
3. Industri hasil pertanian (agroindustry) berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan pertanian. Argumentasinya adalah bahwa industrialisasi akan berjalan apabila disandarkan pada keunggulan di negara bersangkutan. Karena keunggulan Indonesia terletak di sektor pertanian, industrialisasi harusnya berpijak pada sektor tersebut. Jika tidak demikian, industrialisasi akan menimbulkan masalah ketimpangan pendapatan dan pengangguran.
Namun, kenyataan pada awal-awal pemerintahan Orde Baru menunjukkan tingkat industrialisasi yang sangat rendah. Hasil produksi manufaktur Indonesia bahkan kalah dari negara berkembang yang lebih kecil, seperti Hong Kong dan Filiphina. Sektor ”pabrik” sangat kekurangan bahan input, terutama yang berasal dari luar negeri. Keterbelakangan industrialisasi tersebut segera ditindaklanjuti dengan berbagai upaya. Namun, upaya-upaya ini memiliki kendala pada kondisi negara yang serba terbatas, baik dalam hal modal, kualitas sumber daya manusia, dan minimnya teknologi. Ini menyiratkan betapa sedikitnya alternatif yang dapat dipilih oleh pengambil kebijakan. Di satu sisi, bantuan asing sangat diharapkan kehadirannya, sedangkan di sisi lain sektor yang dikembangkan harus mengacu kepada potensi ekonomi domestik yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat.
Akhirnya, proses industrialisasi Indonesia ditopang oleh sejumlah besar kebijakan yang sangat proteksionis di bidang perdagangan dan industri, termasuk diantaranya penggunaan bea masuk yang tinggi, penggunaan non-tariff barriers yang meluas, dan bahkan larangan total terhadap impor. Ini memang perlu dilakukan mengingat industri-industri domestik yang masih belum efisien berproduksi. Jika persaingan dibuka, dikhawatirkan industri domestik akan kalah dan tidak mampu bertahan, dan perekonomian nasional akan kembali terjebak oleh penguasaan asing.
Dengan pola pandang tersebut, industrialisasi di Indonesia sejak awal telah menempuh strategi substitusi impor (SI). Strategi SI ini sarat dengan berbagai intervensi negara untuk melindungi kegiatan ekonomi nasional dari pihak asing, sehingga sering pula disebut ”rezim proteksionalisme”. Strategi ini memang telah benar diterapkan pada tahap awal industrialisasi di Indonesia. Secara internal, strategi ini dapat memperkuat struktur industri domestik dan secara eksternal mencegak pihak asing melakukan penetrasi terhadap ekonomi nasional.

III. KESIMPULAN 

Jika dilihat dari kontribusi ekspor Indonesia, sektor industri pengolahan memberikan sumbangan yang paling besar, disusul oleh sektor pertambangan dan pertanian. Namun, sumbangan terbesar pada sektor industri pengolahan dan pertambangan dilakukan oleh usaha skala besar, sebaliknya di sektor pertanian dilakukan oleh usaha kecil dan menengah. Ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor sektor industri dan pertambangan hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi skala besar, tetapi di sektor pertanian yang menikmati adalah pelaku ekonomi skala kecil dan menengah. Artinya, selama ini pelaku ekonomi skala kecil dan menengah di sektor industri pengolahan hanya berorientasi ke pasar domestik, dimana ini mungkin sebagai akibat dari keterbatasan akses informasi dan permodalan. Pemerintah harus segera mengupayakan agar pelaku usaha kecil dan menengah, khususnya di sektor industri pengolahan juga turut menyumbangkan ekspor produk-produk manufaktur.

Sektor Pertanian

I. PENDAHULUAN


Pembangunan Pertanian di Indonesia tetap dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional karena justru pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain pertumbuhannya negatif. Potensi pertanian yang besar namun sebagian besar dari petani banyak yang termasuk golongan miskin adalah sangat ironis terjadi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah bukan saja kurang memberdayakan petani tetapi sektor pertanian keseluruhan. Disisi lain adanya peningkatan investasi dalam pertanian yang dilakukan oleh investor PMA dan PMDN yang berorientasi pada pasar ekspor umumnya padat modal dan perananya kecil dalam penyerapan tenaga kerja atau lebih banyak menciptakan buruh tani. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki daratan yang sangat luas sehingga mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah pada sektor pertanian.

II. SEKTOR PERTANIAN

Pertanian dapat dilihat sebagai suatu yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yaitu sebagai berikut:
- ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di bidang pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur dan perdagangan.
- Pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor lainnya.
- Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya.
- Sebagai sumber penting bagi surplus perdagangan (sumber devisa).
Kontibusi terhadap kesempatan kerja
Di suatu Negara besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam negerinya masih di dominasi oleh ekonomi pedesaan sebagian besar dari jumlah penduduknya atau jumlah tenaga kerjanya bekerja di pertanian. Di Indonesia daya serap sektor tersebut pada tahun 2000 mencapai 40,7 juta lebih. Jauh lebih besar dari sector manufaktur. Ini berarti sektor pertanian merupakan sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
Kalau dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan industri manufaktur, pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama menunjukkan suatu pertumbuhan tren yang menurun, sedangkan di sektor kedua meningkat. Perubahan struktur kesempatan kerja ini sesuai dengan yang di prediksi oleh teori mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi dari suatu proses pembangunan ekonomi jangka panjang, yaitu bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin kecil peran dari sektor primer, yakni pertambangan dan pertanian, dan semakin besar peran dari sektor sekunder, seperti manufaktur dan sektor-sektor tersier di bidang ekonomi. Namun semakin besar peran tidak langsung dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok bahan baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Kontribusi devisa
Pertanian juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap peningkatan devisa, yaitu lewat peningkatan ekspor dan atau pengurangan tingkat ketergantungan Negara tersebut terhadap impor atas komoditi pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup bervariasi mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah.
Peran pertanian dalam peningkatan devisa bisa kontradiksi dengan perannya dalam bentuk kontribusi produk. Kontribusi produk dari sector pertanian terhadap pasar dan industri domestic bisa tidak besar karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian besar kebutuhan pasar dan industri domestic disuplai oleh produk-produk impor. Artinya peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negative terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu factor penghambat bagi pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu menambah kapasitas produksi dan meningkatkan daya saing produknya. Namun bagi banyak Negara agraris, termasuk Indonesia melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah terutama karena keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.
Kontribusi terhadap produktivitas
Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan-lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok), seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh dua hal: karena volume produksi yang rendah ( yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya), sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat distribusi yang tidak merata ke sluruh dunia.
Mungkin sudah merupakan evolusi alamiah seiring dnegan proses industrialisasi dimana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif menurun, sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor skunder lainnya, dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Penurunan kontribusi output dari pertanian terhadap pembentukan PDB bukan berarti bahwa volume produksi berkurang (pertumbuhan negatif). Tetapi laju pertumbuhan outputnya lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan output di sektor-sektor lain.
Bukan hanya dialami oleh Indinesia tetapi secara umum ketergantungan negara agraris terhadap impor pangan semakin besar, jika dibandingkan dengan 10 atau 20 tahun yang lalu, misalnya dalam hal beras. Setiap tahun Indonesia harus mengimpor beras lebih dari 2 juta ton. Argumen yang sering digunakan pemerintah untuk membenarkan kebijakan M-nya adalah bahwa M beras merupakan suatu kewajiban pemerintah yang tak bisa dihindari, karena ini bukan semata-mata hanya menyangkut pemberian makanan bagi penduduk, tapi juga menyangkut stabilitas nasional (ekonomi, politik, dan sosial).
Kemampuan Indonesia meningkatkan produksi pertanian untuk swasembada dalam penyediaan pangan sangat ditentukan oleh banyak faktor eksternal maupun internal. Satu-satunya faktor eksternal yang tidak bisa dipengaruhi oleh manusia adalah iklim, walaupun dengan kemajuan teknologi saat ini pengaruh negatif dari cuaca buruk terhadap produksi pertanian bisa diminimalisir. Dalam penelitian empiris, factor iklim biasanya dilihat dalam bentuk banyaknya curah hujan (millimeter). Curah hujan mempengaruhi pola produksi, pola panen, dan proses pertumbuhan tanaman. Sedangkan factor-faktor internal, dalam arti bisa dipengaruhi oleh manusia, di antaranya yang penting adalah lusa lahan, bibit, berbagai macam pupuk (seperti urea, TSP, dan KCL), pestisida, ketersediaan dan kualitas infrastruktur, termasuk irigasi, jumlah dan kualitas tenaga kerja (SDM), K, dan T. kombinasi dari faktor-faktor tersebut dalam tingkat keterkaitan yang optimal akan menentukan tingkat produktivitas lahan (jumlah produksi per hektar) maupun manusia (jumlah produk per L/petani).                                                               
                                                                                                                                           III.KESIMPULAN

Saat ini Indonesia, terutama pada sektor pertanian (beras) belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ini berarti Indonesia harus meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi untuk menigkatkan produktivitas pertanian.
Secara teoritis arah pembangunan secara umum adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan sosial (social welfare) yang harus memenuhi empat komponen tujuan utama, yakni:
pertumbuhan, pemerataan, kelestarian, hak asasi manusia.
Oleh karena itu dalam pembangunan pertanian tujuan utama ini dicoba akan diwujudkan sesuai dengan potensi dan peluangnya. Berdasarkan identifikasi masalah dan isu pembangunan pertanian sesuai dengan tuntutan demokratisasi dan globalisasi tersebut, maka dapat dibuat arah pembangunan pertanian pada masa datang. 







Kamis, 17 Maret 2011

Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan

I. PENDAHULUAN

Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskian relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di Negara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingakt pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relative, kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau periode di suatu Negara. Kemiskinan absolute adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.

II. KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
  • Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangansehari-hari,sandang , perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
  • Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan daninformasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
  • Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Mengukur kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). Bank dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001. Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wismayang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan gheto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.

Penyebab kemiskinan

 Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
  • penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
  • penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
  • penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
  • penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
  • penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
KESENJANGAN PENDAPATAN


Ada sejumlah cara untuk mrngukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.

Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.0
Kurva Lorenz, Kumulatif presentase dari populasi, Yang mempunyai  pendapatan
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.

III. KESIMPULAN

Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan merupakan masalah yang sulit dipecahkan terutama negara yang pendapatan per kapitanya berada dibawah termasuk Indonesia.Penyebab dari kemiskinan tersebut diantaranya pengangguran. Dalam hal ini kita harus bertindak untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan, membantu secara langsung kepada orang miskin. Dan dengan tindakan tersebut kemiskinan dapat diatasi.