Selasa, 03 April 2012

Putusan DPR Bertentangan dengan UUD

Sejumlah kalangan berencana mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun 2012 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai Ppasal 7 ayat 6a pada undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Tercatat mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, serta sejumlah pengacara yang tergabung dalam Serikat Pengacara Rakyat (SPR) dan Tim Advokasi Untuk Kedaulatan Energi (TAKE) menyatakan kesiapannya. UU APBNP itu baru disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 31 Maret 2012.
Dari ketiga elemen masyarakat tersebut baru SPR yang siap mengajukan gugatannya pada Senin (2/4) ini. Sedangkan, dua lainnya sedang menyiapkan gugatan.
Yusril Ihza Mahendra mengatakan, walaupun bahan bakar minyak bersubsidi tidak jadi naik per 1 April masyarakat tetap saja ketar-ketir dan was-was. Alasannya, Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga eceren BBM bersubsidi kapan saja dalam kurun waktu enam bulan jika rata-rata kenaikan atau penurunan harga minyak Indonesia (ICP) mencapai angka 15 persen.
Selain itu, kata Yusril, Pasal 7 ayat 6a UU APBN Perubahan tidak mengandung kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Pasal itu juga memberi kewenangan pemerintah untuk menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR. Ini menabrak Pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan Mahkamah Konstitusi (MK)," tutur Yusril.
Pasal 7 ayat 6 dan 6a setelah perubahan tidaklah memenuhi syarat-syarat formil pembentukan sebuah undang-undang. Menurut Yusril, sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedua ayat itu saling bertabrakan satu sama lain sehingga secara formil maupun materil dapat dibatalkan oleh MK.
Dijelaskan pula bahwa pada 2003, MK telah membatalkan salah satu Pasal UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dam Gas Bumi, dan menyerahkan harga jual BBM kepada mekanisme pasar, sehingga harganya naik-turun mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. MK menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, mengingat minyak dan gas adalah kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, berada dalam penguasaan negara.
"Jadi harga jual BBM berada di bawah kendali pemerintah dengan persetujuan DPR sebagai wakil rakyat," tegasnya.
Dalam pengajuan gugatan tersebut, Yusril mengajak pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin. Mantan koordinator staf ahli MK itu menyatakan siap memenuhi ajakan tersebut.
"Pak Yusril memang sudah menghubungi saya dan saya menyatakan siap," kata Irman.
Kendati begitu, Irman mengatakan, pihaknya masih membutuhkan dukungan dari beberapa pakar dari berbagai disiplin ilmu lainnya untuk menguatkan uji materi ini. "Kami butuh pakar dari berbagai disiplin ilmu lain. Pasti kami butuh ekonom untuk menjelaskan dari sisi ekonomi," tegas Irman.
Menurut Irman, Pasal 7 Ayat 6 (a) UU APBNP Tahun 2012 itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bumi, air dan kekayaan alam lainnya milik negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Untuk itu, dia mengajak seluruh kalangan yang merasa dirugikan dengan produk perundang-undangan tersebut untuk bergabung mengajukan gugatan.
Sementara itu, SPR menilai pengajuan uji materi UU APBN-P 2012 adalah bentuk perjuangan bersama kaum penentang neoliberalisme. "Kami mengundang kepada segenap elemen masyarakat untuk mensukseskan permohonan uji materi ini agar dikabulkan MK," kata juru bicara SPR, Habiburokhman, di Jakarta, Minggu.
Dia menilai, partisipasi paling mudah dilakukan masyarakat adalah menghadiri persidangan permohonan uji materi ini. Paling tidak, memberikan surat dukungan secara tertulis agar jalannya persidangan bisa selalu terkawal dengan baik dan tidak bisa diintervensi penguasa.
"Pengalaman kami selama ini membuktikan bahwa besarnya dukungan masyarakat berkolerasi positif dengan dikabulkannya uji materil suatu UU," kata Habib.
SPR berharap agar MK menerima pendaftaran pengajuan uji materi UU APBNP 2012, hari ini, untuk segera diperiksa dan diputuskan. "Kami meminta MK untuk meninggalkan pola berpikir formalistis yang kaku dan menghambat penyelesaian persoalan substansi," katanya mengingatkan.
SPR menyatakan kesedihan dan kecewaannya terhadap DPR yang menyetujui pengesahan penambahan Pasal 7 ayat 6 a UU APBNP 2012. Persetujuan tersebut mencerminkan watak sebagian besar anggota DPR kita yang tidak pro-rakyat, dan secara inkonstitusional menyerahkan penentuan harga BBM ke mekanisme pasar.
Menanggapi rencana gugatan Pasal 7 ayat 6a UU No 22 tahun 2011 tentang APBN-P 2012 oleh Yusril dan SPR, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mempersilahkannya.
"Saya kira sudah diatur dalam UU MK sendiri, tergantung kepada orang yang merasa dirugikan hak konstitusinya," kata Amir.
Amir menegaskan, pemerintah tidak akan melarang-larang setiap warga masyarakat untuk menggugatnya. "Kami 'kan tidak bisa melarang-larang," ujar Amir.
Pasal 7 ayat 6a ini adalah hasil revisi setelah melalui voting dalam paripurna di DPR yang berlangsung alot sejak Jumat (30/3) hingga Sabtu (31/3) dini hari. Hasil voting, memenangkan bahwa ada revisi pasal tersebut yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM.
Alasan berbeda datang dari Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS). Menurut anggota IHCS, Gunawan, pengajuan uji materi itu perlu dilakukan karena rencana pemerintah menaikan harga BBM sesuai dengan mekanisme pasar.
"Kita harus membela hak konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan diberikannya ijin kepada pemerintah untuk menaikan BBM berdasarkan mekanisme pasar," kata Gunawan. (Wilmar P/Nefan K)

(suara karya)

Ongkos Mahal Politik BBM

Bak drama politik yang dimainkan lebih dari 500 orang berlangsung di ruang paripurna DPR. Hujan interupsi terus terdengar sahut menyahut. Semua seolah ingin berbicara tapi seakan enggan mendengar. Tak puas berbicara di tempat duduk, berteriak di depan meja ketua sidang. Mereka adu argumen tentang rencana kenaikan harga BBM.

Tidak kalah seru, para mahasiswa yang duduk di balkon ikut berteriak, namun ditertibkan aparat keamanan. Setelah lewat tengah malam, drama politik terlihat akan berakhir dengan kemenangan partai-partai yang menunda kenaikan BBM untuk saat ini.

Ketuk palu ketua sidang seperti keputusan dengan ongkos politik yang besar. Sejak sidang paripurna belum dimulai, ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa di depan Gedung DPR. Bahkan, mereka sempat merobohkan gerbang kokoh di halaman Gedung DPR dan berusaha masuk. Namun, upaya mereka disambut tembakan gas air mata oleh polisi.

Sehari sebelumnya arena pertempuran terjadi di kawasan Salemba, Jakarta. Demonstrasi mahasiswa yang berlangsung hingga malam memblokir jalan dan berlangsung anarkis.

Mobil milik polisi dibakar. Tidak ketinggalan motor pun ikut musnah dibakar mahasiswa. Puluhan korban dari pengunjuk rasa harus dirawat termasuk Kapolsek Senen yang sempat pingsan karena dikeroyok massa.

Di berbagai daerah ongkos politik juga harus dibayar mahal. Polisi di Medan, Sumatra Utara, bentrok dengan pengunjuk rasa. Sebelumnya, massa sempat membakar pos polisi di persimpangan Jalan S Parman dan Jalan Sudirman.

Begitu pula di Makassar, Sulawesi Selatan. Pos polisi yang telah dihancurkan dibakar juga. Di beberapa daerah lain, kantor dan peralatan polisi yang dibayar dengan uang rakyat jadi sia-sia. Belum lagi korban yang jatuh akibat baku pukul antara polisi dan mahasiswa saat unjuk rasa berlangsung. Dan anehnya rumah makan cepat saji pun ikut jadi sasaran unjuk rasa.

Demonstrasi akhirnya berhasil menyebarkan ketakutan di masyarakat. Sekolah-sekolah pun banyak yang diliburkan. Di pasar tradisional pedagang menderita kerugian besar. "Hampir 80 persen," kata Dedi Efendi, salah satu pedagang di Jakarta.

Inilah yang disebut sebagai mahalnya ongkos politik yang sangat disesalkan. Hamdi Muluk, pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia, mengatakan, para politisi mempunyai agenda sendiri. Sementara budayawan Benny Susetyo menilai rakyat telah ditipu. "Ini politik tipu daya," katanya.

Masyarakat pun menanggapi drama politik yang terjadi di DPR dengan beragam. Ada yang mengatakan lucu. Namun ada juga warga yang menyebutnya membodohi masyarakat. "Terlalu banyak politiknya," kata warga.

Yaa.. drama politik yang akhirnya bisa dinilai sendiri oleh masyarakat. Politik BBM untuk siapa sebenarnya tetapi ongkosnya yang mahal telah ditanggungkan pada rakyat.(IAN)

(liputan6.com)

Minggu, 01 April 2012

Peraturan Perundang-undangan Ekonomi

Sesuai dengan amanat dan semangat Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional pembangunan di bidang ekonomi, maka pengusaha Indonesia dengan dilandasi jiwa yang luhur, bersih, transparan, dan profesional, serta produktif dan inovatif harus membina dan mengembangkan kerja sama sinergistik yang seimbang dan selaras, baik sektoral dan lintas-sektoral, antar-skala, daerah, nasional maupun internasional, dalam rangka mewujudkan iklim usaha yang sehat dan dinamis untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi dunia usaha Indonesia dalam ikut serta melaksanakan pembangunan nasional dan daerah di bidang ekonomi.
Pembentukan organisasi Kadin Indonesia pertama kali dibentuk tanggal 24 September 1968 oleh Kadin Daerah Tingkat I atau Kadinda Tingkat I (sebutan untuk Kadin Provinsi pada waktu itu) yang ada di seluruh Indonesia atas prakarsa Kadin DKI Jakarta, dan diakui pemerintah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 1973, kemudian dibentuk kembali sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri dalam Musyawarah Pengusaha Indonesia tanggal 24 September1987 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pengusaha Indonesia yang tergabung dalam Kadin Indonesia bekerja sama dengan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan wakil-wakil Badan Usaha Milik Negara, didirikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri menetapkan bahwa seluruh pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta secara bersama-sama membentuk organisasi Kamar Dagang dan Industri sebagai wadah dan wahana pembinaan, komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi pengusaha Indonesia, dalam rangka mewujudkan dunia usaha Indonesia yang kuat dan berdaya saing tinggi yang bertumpu pada keunggulan nyata sumber daya nasional, yang memadukan secara seimbang keterkaitan antar-potensi ekonomi nasional, yakni antar-sektor, antar-skala usaha, dan antar-daerah, dalam dimensi tertib hukum, etika bisnis, kemanusiaan, dan kelestarian lingkungan dalam suatu tatanan ekonomi pasar dalam percaturan perekonomian global dengan berbasis pada kekuatan daerah, sektor usaha, dan hubungan luar negeri.

Pencucian Uang
 
Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.


Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara/jurisdiksi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain:
  1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
  2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
  3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
  4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
  5. perluasan Pihak Pelapor;
  6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
  7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
  8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi;
  9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
  10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;
  11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
  12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
  13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
  14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan
  15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
 sumber : http://id.wikipedia.org