Senin, 13 Januari 2014

Kasus Hukum yang diawali oleh pelanggaran etika pada tahun 2013

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menjatuhkan sanksi pelanggaran etika yang serius kepada Akil Mochtar dengan ”pemberhentian tidak dengan hormat”.

Saat MKMK dibentuk untuk melakukan pemeriksaan pelanggaran etika kepada Akil ada kontroversi yang menyertai. Yusril Ihza Mahendra misalnya mengatakan tidak ada gunanya pembentukan MKMK karena jika sudah menjadi tersangka seperti Akil dengan sendirinya sudah melakukan pelanggaran etika. Ada juga yang mengatakan, pembentukan MKMK itu hanya sikap defensif MK karena ketuanya tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi.

Yang lain mengatakan, pembentukan MKMK merupakan langkah tumpang-tindih karena Akil sudah ditangani secara hukum oleh KPK. Hujatan keras masyarakat kepada Akil dan MK adalah wajar. Kasus Akil telah mencoreng bukan hanya MK, melainkan telah mempermalukan kehormatan negara Indonesia di muka dunia. Beberapa dubes kita di luar negeri memberi tahu saya, kalau dulu MK dipuji-puji oleh para diplomat, sekarang ini malah dicibir sinis.

Tetapi, pembentukan MKMK untuk mengadili pelanggaran etika oleh Akil sangat penting dan bukan tumpang tindih. Ada KPK dan ada MKMK dapat terus bertindak menurut jalurnya sendiri. Ada beberapa alasan, mengapa MKMK harus dibentuk. Pertama, benar, jika sudah tertangkap tangan melakukan tindak pidana, hampir pasti pelanggaran etikanya sudah terjadi.

Tetapi, untuk menentukan bahwa pelanggaran etika itu benar-benar terjadi dan harus dijatuhi sanksi, tentu harus ada proses dan forum resmi yang menetapkannya. MKMK-lah forum dan prosedur untuk memberi baju atau bentuk atas kebenaran bahwa pelanggaran etika itu benar-benar terjadi seperti yang dikatakan Yusril. Kalau tidak ada MKMK, pelanggaran etika itu hanya menjadi wacana atau sekadar anggapan.

Kedua, tidak benar, jika dikatakan pemeriksaan etika oleh MKMK dan pemeriksaan hukum oleh KPK itu tumpang tindih. Produk sanksi dari keduanya, jika yang bersangkutan terbukti bersalah, berbeda. Sanksi yang bisa dijatuhkan dalam proses hukum di KPK adalah hukuman penjara, penyitaan harta, dansanksipidanalainnya. Sedangkan sanksi pelanggaran etika yang bisa dijatuhkan oleh MKMK adalah sanksi etik, termasuk pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim MK.

Ketiga, terhadap pernyataan bahwa jika proses hukum pidananya kelak sudah terbukti bersalah, pemberhentiannya sebagai hakim harus terjadi tanpa ada penghukuman etika dari MKMK itu pun kurang tepat dari sudut kepentingan umum. Kalau pemberhentiannya harus menunggu proses hukum sampai berkekuatan hukum tetap, MK sebagai lembaga negara menjadi sangat terganggu, tidak efisien, dan kurang efektif.

Untuk sampai pada berkekuatan hukum tetap secara pidana kasus Akil ini sampai pada tingkat kasasi di MA, kalau normal, diperkirakan perlu waktu hampir dua tahun; padahal kekosongan hakim di MK tidak bisa dibiarkan berlangsung lama. Posisi Akil harus segera diganti oleh hakim lain.

Nah, pengisian kekosongan ini harus dilakukan melalui pemberhentian secepatnya bagi Akil melalui MKMK. Keempat, ada juga yang mengatakan, MKMK tidak diperlukan karena Akil sudah menyatakan mengundurkan diri sebagai hakim sehingga tidak perlu diberhentikan lagi oleh MKMK.

Pendapat ini pun kurang tepat. Kalau Akil diberhentikan dengan alasan yang bersangkutan sudah mengundurkan diri berarti pemberhentiannya adalah pemberhentian dengan hormat dan dengan hak-hak pensiun dan fasilitas lain sebagai mantan pejabat negara. Padahal dalam kasus yang menggegerkan seperti kasus Akil ini hampir tak mungkin kita bersetuju kalau Akil diberhentikan dengan hormat.

Moralitas dan rasa keadilan kita akan mengatakan, Akil harus dijatuhi hukuman pelanggaran etika terberat yaitu pemberhentian tidak dengan hormat dan bukan pemberhentian dengan hormat. Sebab itu, benar sikap MK, pengunduran diri Akil sampai sekarang tidak diproses sampai ada keputusan MKMK. Jika seseorang melakukan pelanggaran kemudian mengundurkan diri dan langsung dikabulkan, nanti akan banyak orang melanggar dan segera mengundurkan diri sebelum diadili secara etik agar bisa diberhentikan dengan hormat.

Ada alasan lain, yang kelima, di dalam profesi-profesi lain seperti dokter, wartawan, ombudsman, dan akuntan selalu ada pengadilan etika secara internal yang bisa menjatuhkan sanksi lebih dulu kepada anggotanya sebelum ada putusan pengadilan jika yang bersangkutan disangka, bahkan baru diduga, melakukan pelanggaran hukum.

Wartawan yang melakukan tindak pidana seperti pemerasan atau pemfitnahan bisa diberhentikan lebih dulu sebelum proses hukum pidananya final. Jadi tidak ada yang salah kalau MK membentuk MKMK yang kemudian segera memberhentikan Akil tidak dengan hormat.

Melihat perkembangan proses hukum pada Akil yang ternyata terlibat dalam sangkaan banyak kasus seperti korupsi, penyuapan, tindak pidana pencucian uang, dan (teranyar) dugaan kejahatan narkoba memang Akil ini harus diberhentikan tidak dengan hormat lebih dulu sesuai dengan kewenangan majelis kehormatan yang diberikan peraturan perundang- undangan.

Kita tidak boleh menunggu selesai proses hukum yang pasti akan lama. Kita tak ingin telanjur ada keppres pemberhentian dengan hormat, padahal hukuman yang layak, di luar kasus pidananya, adalah pemberhentian tidak dengan hormat.