Kamis, 24 Maret 2011

Industrialisasi

I. PENDAHULUAN

Industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan ekonomi yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi merupakan proses perubahan struktur ekonomi dari struktur ekonomi pertanian atau agraris ke struktur ekonomi industri. Tidak dapat dipungkiri bahwa industrialisasi memberikan dampak yang positif bagi perekonomian di Indonesia, dengan kata lain sektor industri manufaktur muncul menjadi penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat mengimbangi laju pertumbuhan sektor pertanian.

II. INDUSTRIALISASI

Secara definitif, sampai saat ini pemaknaan tentang pembangunan ekonomi yang pokok adalah pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara berkesinambungan sehingga menghasilkan transformasi struktural dalam perekonomian. Menurut Mellor (1987;81), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang dengannya perekonomian diubah dari apa yang sebagian besar pedesaan dan pertanian menjadi sebagian besar perkotaan, industri, dan jasa–jasa. Jadi inti dari pembangunan ekonomi adalah adanya pertumbuhan ekonomi.
Transformasi strukrural sendiri dipahami sebagai pergeseran pertumbuhan sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan kemudian ke sektor jasa (Chandra, 1992:4). Pandangan ini dipelopori oleh Colin Clark (1940) dan Simon Kuznets (1957 dan 1958). Clark menggambarkan tentang ”modernisasi ekonomi”, atau proses pertumbuhan ekonomi dalam kerangka perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder dan peningkatan yang layak dalam produksi tersier. Negara yang telah mencapai tahapan modernisasi ekonomi inilah yang dianggap telah mengalami tahap industrialisasi. Transformasi struktural disini diharuskan, karena sektor primer dipandang tiak memiliki nilai tambah yang tinggi serta nilai tukarnya rendah.
Sementara itu, tolok ukur industrialisasi menurut (Rostow, 1991:5) adalah apabila tingkat investasi dan tabungan mencapai 10% dari pendapatan nasional. Era industrialisasi ditandai dengan industri–industri baru berkembang dengan pesat, memberikan keuntungan yang sebagian besar diinvestigasikan lagi dalam bentuk baru. Indutri-industri baru ini tentunya membutuhkan banyak pekerja pabrik, yang pada akhirnya mendorong timbulnya layanan-layanan jasa yang mendukung para pekerja tersebut dan kebutuhan akan barang-barang manufaktur lainnya , perluasan lebih lanjut di daerah perkotaan dan dalam pabrik-pabrik modern lainnya.
Sedikit berbeda dengan sebelumnya, model neoklasik, dengan para tokoh-tokohnya seperti Arthur Lewis dan Hollis Chenery, lebih menekankan perhatiannya kepada mekanisme yang memungkinkan perekonomian negara terbelakang mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari sesuatu yang berat seperti pertanian tradisional untuk mencukupi kebutuhan sendiri, kepada suatu perekonomian yang lebih modern, mengarah ke kota , dan beraneka di bidang industri dan jasa-jasa (Todaro 1997: 75). Intinya, neoklasik memusatkan pada bagaimana “mekanisme” perubahan struktural tersebut terjadi.
Pada dekade 1980-an, pandangan industrialisasi seperti diatas mendapat kritik dari Joan Robinson, Cohen, dan Zysman (Arief, 1995:12). Tiga ekonom Cambrige ini berargumen bahwa transformasi ekonomi bukan hanya dalam konteks pergeseran struktural dari pertanian ke manufaktur dan jasa. Tahap transformasi seharusnya dipahami dalam pengertian proses dinamika yang terjadi dalam sektor pertanian dan sektor-sektor pendukungnya. Secara spesifik, sektor pertanian diletakkan sebagai pondasi pembangunan dan sektor industri sebagai motor pembangunan, atau offshoot dari sektor pertanian.
Dengan demkian, setidaknya ada dua karakteristik transformasi ekonomi yang merupakan model dasar dari percepatan industrialisasi yang dikembangkan dalam jangka panjang, yaitu :
1. Sektor pertanian harus terus mengalami dinamika internal (produktivitas yang terus meningkat) dan menjadi basis bagi sektor industri yang dikembangkan.
2. Sektor industri yang dikembangkan mempunyai saling keterkaitan dengan sektor pertanian, yang jika didinamisasikan akan menjadi kunci hebat bagi pertumbuhan sektor manufaktur.


Industrialisasi dan Proteksionisme

Terdapat tiga pemikiran strategi industrialisasi yang berkembang di Indonesia, dimana ketiganya pernah diaplikasikan secara tersendiri maupun bersama- sama yakni antara lain sebagai berikut :
1. Strategi industrialisasi yang mengembangkan industri–industri yang berspektrum luas (broad- based industry), seperti industri elektronik, tekstil, otomotif, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang memadai seperti tenaga kerja murah dan sumber daya alam, sehingga negara-negara maju tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Selain itu, dalam jangka panjang Indonesia mengambil pelajaran dan teknologi dari industri-industri asing tersebut.
2. Strategi industrialisasi yang mengutamakan industri-industri berteknologi canggih berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri pesawat terbang, industri peralatan, dan senjata militer, industri kapal, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa pendekatan ini merupakan cara agar peningkatan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dalam jangka panjang, karena relatif menghasilkan nilai tambah yang besar. Apabila mengandalkan sektor primer, nilai tambahnya kecil dan juga mudah disaingi oleh pihak asing.
3. Industri hasil pertanian (agroindustry) berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan pertanian. Argumentasinya adalah bahwa industrialisasi akan berjalan apabila disandarkan pada keunggulan di negara bersangkutan. Karena keunggulan Indonesia terletak di sektor pertanian, industrialisasi harusnya berpijak pada sektor tersebut. Jika tidak demikian, industrialisasi akan menimbulkan masalah ketimpangan pendapatan dan pengangguran.
Namun, kenyataan pada awal-awal pemerintahan Orde Baru menunjukkan tingkat industrialisasi yang sangat rendah. Hasil produksi manufaktur Indonesia bahkan kalah dari negara berkembang yang lebih kecil, seperti Hong Kong dan Filiphina. Sektor ”pabrik” sangat kekurangan bahan input, terutama yang berasal dari luar negeri. Keterbelakangan industrialisasi tersebut segera ditindaklanjuti dengan berbagai upaya. Namun, upaya-upaya ini memiliki kendala pada kondisi negara yang serba terbatas, baik dalam hal modal, kualitas sumber daya manusia, dan minimnya teknologi. Ini menyiratkan betapa sedikitnya alternatif yang dapat dipilih oleh pengambil kebijakan. Di satu sisi, bantuan asing sangat diharapkan kehadirannya, sedangkan di sisi lain sektor yang dikembangkan harus mengacu kepada potensi ekonomi domestik yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat.
Akhirnya, proses industrialisasi Indonesia ditopang oleh sejumlah besar kebijakan yang sangat proteksionis di bidang perdagangan dan industri, termasuk diantaranya penggunaan bea masuk yang tinggi, penggunaan non-tariff barriers yang meluas, dan bahkan larangan total terhadap impor. Ini memang perlu dilakukan mengingat industri-industri domestik yang masih belum efisien berproduksi. Jika persaingan dibuka, dikhawatirkan industri domestik akan kalah dan tidak mampu bertahan, dan perekonomian nasional akan kembali terjebak oleh penguasaan asing.
Dengan pola pandang tersebut, industrialisasi di Indonesia sejak awal telah menempuh strategi substitusi impor (SI). Strategi SI ini sarat dengan berbagai intervensi negara untuk melindungi kegiatan ekonomi nasional dari pihak asing, sehingga sering pula disebut ”rezim proteksionalisme”. Strategi ini memang telah benar diterapkan pada tahap awal industrialisasi di Indonesia. Secara internal, strategi ini dapat memperkuat struktur industri domestik dan secara eksternal mencegak pihak asing melakukan penetrasi terhadap ekonomi nasional.

III. KESIMPULAN 

Jika dilihat dari kontribusi ekspor Indonesia, sektor industri pengolahan memberikan sumbangan yang paling besar, disusul oleh sektor pertambangan dan pertanian. Namun, sumbangan terbesar pada sektor industri pengolahan dan pertambangan dilakukan oleh usaha skala besar, sebaliknya di sektor pertanian dilakukan oleh usaha kecil dan menengah. Ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor sektor industri dan pertambangan hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi skala besar, tetapi di sektor pertanian yang menikmati adalah pelaku ekonomi skala kecil dan menengah. Artinya, selama ini pelaku ekonomi skala kecil dan menengah di sektor industri pengolahan hanya berorientasi ke pasar domestik, dimana ini mungkin sebagai akibat dari keterbatasan akses informasi dan permodalan. Pemerintah harus segera mengupayakan agar pelaku usaha kecil dan menengah, khususnya di sektor industri pengolahan juga turut menyumbangkan ekspor produk-produk manufaktur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar