Selasa, 06 November 2012

Sistem Bagi Hasil Bank Syariah

Istilah syirkah atau musyarakah sebenarnya sudah familier dan banyak dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia. Dalam keseharian kita mengenal istilah serikat, kongsi atau perkumpulan, sama halnya dengan istilah musyarakah yang secara bahasa juga berarti bercampur, yakni mencampur satu modal dengan modal yang lain menjadi satu.

Secara sederhana, dapat dipahami bahwa musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian untuk melaksanakan suatu jenis usaha yang halal dan produktif, dengan tujuan memperoleh dan berbagi keuntungan.

Dalam aplikasi perbankan syariah, musyarakah terutama diterapkan dalam pembiayaan, di mana bank sebagai pemilik modal bekerjasama dengan pengusaha, dengan kontribusi modal dan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Pembiayaan musyarakah di perbankan syariah bisa berikan dalam berbagai bentuk, di antaranya:

Pertamamusyarakah permanen (continous musyarakah), di mana pihak bank merupakan partner tetap dalam suatu proyek atau usaha. Model ini jarang dipraktikkan, namun musyarakah permanen ini merupakan alternatif menarik bagi investasi surat-surat berharga atau saham, yang dapat dijadikan salah satu portfolio investasi bank.

Keduamusyarakah digunakan untuk pembiayaan modal kerja (working capital), di mana bank merupakan partner pada tahap awal dari sebuah usaha atau proses produksi. Dalam model pembiayaan ini, pihak bank akan menyediakan dana untuk membeli aset atau alat-alat produksi, begitu juga dengan partner musyarakah lainnya.

Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan profit, porsi kepemilikan bank atas aset dan alat produksi akan berkurang karena dibeli oleh para partner lainnya, dan pada akhirnya akan menjadi nol, model pembiayaan ini lebih dikenal dengan istilah deminishing musyarakah, dan model ini yang banyak diaplikasikan dalam perbankan syariah.

Ketigamusyarakah digunakan untuk pembiayaan jangka pendek. Musyarakah jenis ini bisa diaplikasikan dalam bentuk project finance atau pembiayaan perdagangan, seperti ekspor, impor, penyediaan bahan mentah atau keperluan-keperluan khusus nasabah lainnya.

Mengenai bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu profit sharing (bagi laba) danrevenue sharing (bagi pendapatan). Jika memakai metode revenue sharing, berarti yang dibagi hasil antara bank dan nasabah pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan biaya-biaya.

Sedangkan apabila menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara bank dengan nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya (laba). Namun, yang saat ini dipakai dalam praktik perbankan syariah adalah metode revenue sharing.

Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha jasa konstruksi memperoleh proyek pembangunan jembatan dari pemerintah daerah dengan total nilai proyek Rp1,4 miliar, yang dibagi dalam tiga termin pembayaran (termin I Rp200 juta, termin II Rp400 juta, dan termin II Rp800 juta).

Total modal yang dibutuhkan adalah Rp1 miliar, sementara ia hanya memiliki modal Rp400 juta. Maka ia dapat mengajukan penambahan modal kerja kepada bank syariah sebesar Rp600 juta. Atas permohonan nasabah tersebut, bank syariah akan memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil berupa pemberian tambahan modal sejumlah Rp600 juta yang dijadikan penyertaan bank syariah dalam proyek tersebut dengan menggunakan akad kemitraan bagi hasil (musyarakah).

Dalam hal ini, kontraktor dan bank syariah bermitra dalam bentuk kongsi penyertaan modal. Misalnya disepakati nisbah bagi hasil adalah 40 persen untuk pengusaha dan 60 persen untuk bank syariah. Misalnya juga disepakati proyeksi keuntungan total sebesar Rp400 juta. Maka ilustrasi pembayaran untuk pembiayaan modal kerja iB oleh pengusaha sebagai berikut:

Termin I, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp200 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp100 juta dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp34,3 juta (1/7 x 60 persen x Rp400 juta).

Termin II, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp400 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp200 juta dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp68,6 juta (2/7 x 60 persen x Rp400 juta).

Termin III, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp800 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp300 juta dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp137,1 juta (3/7 x 60 persen x Rp400 juta).

Dari ilustrasi di atas, terlihat bahwa sistem bagi hasil di bank syariah berbeda dengan bunga pada bank konvensional. Kalau di bank kovensional, besarnya persentase bunga ditentukan di awal berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan. Misalnya 15 persen dari besar pinjaman, tanpa memperdulikan berapa keuntungan atau kerugian  dari usaha yang dibiayai.

Sedangkan dalam bagi hasil, besarnya bagi hasil tidak didasarkan pada jumlah pinjaman (pembiayaan), tetapi berdasarkan porsi (nisbah) tertentu dari keuntungan yang diperoleh, misalnya, 40:60 (40 persen keuntungan untuk bank dan 60 persen untuk deposan) atau 35:65 (35 persen untuk bank dan 65 persen untuk deposan) dan seterusnya. Disinilah letak nilai keadilan dari konsep bagi hasil yang ada di bank syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar